Tindakan pembubaran paksa ratusan warga Kecamatan Lambu, Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat, merupakan pilihan terakhir yang harus dilakukan polisi. “Seluruh tahapan penanganan terhadap aksi massa sudah dilakukan tapi mereka menolak, bahkan melakukan perlawanan,” kata sumber Tempo di Kepolisian Resor Bima, Sabtu malam ini, 24 Desember 2011.
Gambar diupload dari video Metro TV |
Penjelasan tersebut dikemukakannya menanggapi pernyataan Ketua Komnas HAM, Ifdhal Kasim. Sebab, apa yang diuraikan Ifdhal bisa menimbulkan penafsiran yang salah di kalangan masyarakat terhadap apa yang dilakukan kepolisian.
Pernyataan Ifdhal dengan nada bertanya, apakah dapat dibenarkan menembaki massa yang tidak bersenjata apalagi sampai menjatuhkan korban. Demikian pula pernyataan yang menyebutkan pentingnya proses dialog dalam penyelesaian masalah di Bima. “Pernyataan seperti itu bisa menimbulkan kesan yang salah dan menyesatkan,” ujarnya.
Sumber tersebut mengutip kembali apa yang sudah dijelaskan Kepala Kepolisian Daerah Nusa Tenggara Barat, Brigadir Jenderal Arif Wachyunadi bahwa penanganan terhadap massa yang telah lima hari memblokir Pelabuhan Sape sudah melewati prosedur, yakni pelayanan, pengendalian, penanggulangan, penindakan (4P).
Secara terperinci sumber Tempo tersebut menjelaskan kronologi penanganan terhadap massa. Dimulai pukul 06.00 WITA, tahap pertama berupa upaya negosiasi dengan mengutus Polisi Wanita (Polwan) untuk mendampingi tim negosiator. Namun negosiasi yang berlangsung selama dua jam tak membuahkan hasil. Massa berkukuh tak beranjak dari kawasan pelabuhan. Padahal sudah dijelaskan pemblokiran pelabuhan merugikan masyarakat Nusa Tenggara Timur yang akan merayakan Hari Natal. Sebab di antara barang yang diangkut oleh ratusan truk yang tertahan selama lima hari –akibat tidak bisa menyeberang, termasuk pernak-pernik natal, seperti pohon natal.
Gambar diupload dari video Metro TV |
Tahap kedua dilakukan dengan cara meminta massa menyerahkan berbagai senjata tajam yang mereka bawa selama aksi berlangsung. Polisi juga meminya mereka membubarkan diri secara sukarela. Massa diberi waktu satu jam. Selama menunggu waktu tersebut upaya negosiasi terus dilakukan. Namun tetap saja massa menolak.
Tahap ketiga dikerahkan pasukan Pengendali Massa (Dalmas). Mereka ditugaskan untuk mendesak massa agar meninggalkan kawasan pelabuhan. Karena tetap ditolak terjadi aksi saling dorong. Saat itu ketegangan mulai muncul.
Massa mulai mengancam polisi akan melakukan perlawanan, bahkan ada di antara mereka yang menghunus senjata tajam. Sikap massa dihadapi dengan upaya tahap keempat, yakni mendorong massa dengan tongkat yang dibawa setiap anggota Dalmas. Massa justru semakin keras melawan. Salah seorang di antara mereka meminta polisi mundur dengan alasan bahwa massa memerlukan kehadiran Bupati Bima, Ferry Zulkarnain, untuk menjelaskan ijin pertambangan yang diberikan kepada PT Sumber Mineral Nusantara.
Dalam bahasa Bima massa mengatakan polisi yang bertugas saat itu juga orang Bima yang seharusnya membela warga Lambu yang terancam kerusakan lingkungan jika pertambangan emas tetap dilakukan. Kepada massa dijelaskan tersedia jalur hukum untuk mempersoalkan keputusan bupati. Anjuran polisi tidak digubris, bahkan massa bersikeras tidak akan membubarkan diri.
Ditempuh tahap kelima dengan menembakkan gas air mata agar massa membubarkan diri. Massa tak beranjak sehingga dikeluarkan tembakan peringatan ke udara sebagai upaya tahap keenam.
Enam tahapan penanganan yang dipimpin langsung oleh Kapolda Brigjen Arif Wachyunadi berlangsung hingga pukul 11.00 WITA. Namun karena massa tetap bertahan dan mulai melakukan perlawanan, tindakan pembubaran paksa dilakukan. ”Yang kami hadapi massa dengan jumah ratusan orang. Mereka juga membawa senjata tajam,” paparnya. Selain itu, polisi juga dihadapkan pada persoalan yang tidak mudah karena di antara massa terdapat kaum wanita dan anak-anak usia 10 tahun hingga 17 tahun. Wanita dan anak-anak dijadikan tameng.
Seperti diberitakan sebelumnya, selain mengamankan puluhan orang, polisi menyita puluhan senjata tajam, terdiri dari 20 parang, 4 sabit, 10 tombak, juga ada kampak. Selain itu ada batu-batu besar dan kecil, bom molotov, botol Aqua besar isi bensin. Di antara provokator yang ditangkap bahkan terdapat pelaku tindak pidana yang menjadi DPO atau target pencarian Polga Nusa Tenggara Timur.
Itu sebabnya sumber Tempo tersebut menegaskan, tidak benar pasukan kepolisian saat itu menghadapi massa yang tidak membawa senjata tajam. ”Selama lima hari menduduki pelabuhan, massa tetap melengkapi diri dengan senjata tajam,” ucapnya.
Ihwal timbulnya korban jiwa pun tak dapat dihindari. Meski berhasil dibubarkan secara paksa, massa tidak seluruhnya melarikan diri untuk bersembunyi di berbagai lokasi, termasuk ke atas gunung. Massa bersenjata tajam tiba-tiba muncul dari balik tembok di pinggir pantai menghadang anggota Dalmas yang mengendarai sepeda motor menuju pasar Sape. Anggota pasukan lain yag segera mendapat informasi segera menghadapi massa. Dalam keadaan terancam, tembakan dilepaskan. Di tempat itu seorang di antara massa terjatuh.
Peristiwa serupa juga terjadi di kawasan pelabuhan. Penyerangan terhadap polisi juga dilakukan oleh puluhan orang bersenjata tajam sehingga tembakan terpaksa dilakukan. Salah seorang di antara massa juga terkena tembakan.
Dijelaskan sebanyak sembilan orang yang dibawa ambulan ke Rumah Sakit Umum Bima. Tidak semuanya korban tembakan. Sebab ada juga dua orang anggota polisi yang terkena panah. Setelah menjalani perawatan, dua orang meninggal, masing-masing Arif Rahman, 23 tahun, asal Desa Sumi, Kecamatan Lambu, dan Syaiful, 22 tahun, asal desa yang sama.
Sumber Tempo tersebut juga menjelaskan, selama lima hari aksi pemblokiran pelabuhan Sape berlangsung, polisi telah pula berkali-kali melakukan pendekatan agar massa mengakhiri aksinya karena mengganggu kepentingan umum, terutama arus lalu lintas penyeberangan antara dua provinsi, yakni dari Sape, Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) ke sejumlah pelabuhan di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), serta sebaliknya.
Tindakan pembubaran paksa harus dilakukan Sabtu, 24 Desember 2011, karena merupakan hari terakhir menjelang Natal, 25 Desember 2011. Barang serta ratusan warga NTT yang akan merayakan natal harus segera diseberangkan. ”Penolakan massa terhadap tambang silahkan dilakukan melalui cara yang tidak mengganggu kepentingan umum. Kepentingan masyarakat NTT, serta kelancaran arus perekonomian di pelabuhan menjadi pertimbangan sehingga pemblokiran pelabuhan harus diakhiri,” ucapnya.
Sumber: Tempo.co
0 komentar:
Posting Komentar
Terima kasih atas kunjungan anda. Silahkan berikan komentar tentang artikel ini. Akan tetapi perlu dimaklumi bahwa Komentar yang tergolong iseng tidak akan ditampilkan. Untuk mendapatkan jawaban langsung pada kotak masuk Email anda, klick teks Subscribe by Email. Atas atensi dan partisipasinya terima kasih.